Rabu, 27 Maret 2013

Menjadi Bos Untuk Diri Sendiri




Nine to five, sepertinya  kata-kata itu selalu menghantui kita dari senin sampai jumat, bahkan senin sampai sabtu, atau bahkan ketika orang lain sibuk bersepeda, joging, menikmati car free day, memancing, baca koran, berkebun, ada yang harus sibuk berdandan rapi dan bergegas menuju tempat kerja, sedikit menyedihkan. Pekerjaan kita sering kali menyita hampir sebagian besar waktu yang kita miliki, sedikit sekali waktu yang bisa kita luangkan, sekedar untuk bercengkrama dengan keluarga, berolahraga, berkebun, memancing, atau hanya untuk memotong rambut.

Ada satu cerita, seorang teman saya, bekerja menjadi asisten pribadi seorang CEO perusahaan terkemuka, malam minggu  itu kami sedang terlibat pertandingan bulu tangkis beregu tingkat RT, berjudul "Turnamen Bulutangkis antar RT, Se RW 3, Piala Pak Supeno, dalam rangka memperingati kemerdekaan RI dan kaul Pak Supeno Menggolo". Penonton sangat ramai, drum, galon, panci, piring sendok, gayung, baskom, semua yang menimbulkan suara mereka bawa, serasa bertanding di Piala Thomas. Maklum jiwa nasionalime untuk mendukung RTnya tergugah.  Teman saya itu adalah salah satu pemain yang sangat diandalkan oleh team kami, sebagai pemain ke tiga dalam lima partai yang dipertandingkan, saat itu team kami sudah unggul dua kosong, artinya jika pertandingan ke tiga, teman saya berhasil memenangkan pertandingan, skor tiga kosong. Otomatis team kami menang. Sporter kami terus meneriakan namanya "Salim Prok prok prok, Salim, prok prok prok". Tapi apa daya, lima menit sebelum pertandingan dimulai, bos nya menelfon, kami cuma mendengar jawaban "iya pak", "siap pak", "segera saya kerjakan", setelah selesai menjawab panggilan telpon, teman saya berkata "maaf saya ga bisa main, sekarang juga harus ke lokasi proyek". Jam menunjukan angka 22.15, kami hanya terdiam dan pasrah, sporter kami kecewa, tak ada yang bisa kami lakukan, tentu karir teman saya itu jauh lebih penting dibanding pertandingan bulutangkis tujubelasan antar RT. Team kami kalah karena hilangnya kepercayaan diri, frustasi dan motivasi.

Di hari yang berbeda, beberapa malam sesudahnya, hujan rintik turun dari sore hari, disertai angin yang cukup kencang, perut saya terasa sangat lapar, tapi malas sekali keluar rumah, cuaca saat itu mengalahkan rasa lapar saya, satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah menunggu tukang nasi goreng langganan saya. Sambil menonton televisi saya menunggu, membaca koran sambil masih menunggu, menulis artikel, sambil menunggu bercampur menggerutu, sambil tertidur saya menunggu dan menggerutu. sampai pagi pun si tukang nasi goreng tak juga menampakan tahi lalat dijidatnya. Sampai beberapa hari ke depan dia masih belum juga muncul. beberapa hari setelahnya dengan gerobak kuning dan kentongan, memecah malam dan menghancurkan ide artikel saya, dia muncul, langsung tanpa menunggu lama saya memanggilnya.

        "Bang nasi goreng satu bang" saya mengawali percakapan
        "Pakai telor ga bos?"
        "Boleh, sekalian pake dongkol bang"
        "Gada nasi goreng jengkol bos"
        "Dongkol bang!!, kemana saja ga pernah jualan?!"
       "Sibuk bos, main bulutangkis antar RT, tujubelasan, di RW 3, baru kemarin jadi juara, Nih kaos   hadiahnya saya pake".
        " What????@#$%#*^&81!!!!"

Cerita singkat tadi menggambarkan seperti apa kehidupan kita, bukan masalah siapa yang menjarai turnamen bulutangkis, bukan masalah kaos si penjual nasi goreng, tapi yang membuat saya iri adalah waktu yang dimiliki si tukang nasi goreng, apa yang tidak dimiliki oleh temen saya seorang asisten CEO. Mungkin Teman saya itu memiliki segala galanya, rumah, mobil, sepeda motor, tanah yang luas, tapi dia harus menukarnya dengan waktu yang dimilikinya. Perusahaanya memiliki semua waktunya, bahkan hanya tidak ada waktu untuk teman-temannya, keluarganya, orang orang yang membutuhkannya,. Bahkan mungkin dia tidak punya waktu untuk Tuhannya. Ada dimana seseorang benar-benar tidak memiliki kuasa akan waktu yang dimilikinya. Sementara si penjual nasi goreng, dengan mudah mengatur waktunya, melakukan apa yang diinginkannya, bukan waktu yang mengaturnya. Kita kesampingkan dulu penghasilan dan seperti apa kehidupan si tukang nasi goreng, tapi kita harus setuju, bahwa dia adalah bos untuk dirinya sendiri. 

Jalan hidup memang sebuah pilihan, seperti dua sisi mata uang, sisi positif dari suatu pilihan pasti membawa sisi negatif, kita sendirilah yang menentukan pilihan itu, dan kita lah yang akan menghadapi konsekuensinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar