Jumat, 01 Maret 2013

Banjir Jakarta

 
Jakarta.  Kamis 17 januari 2013, warga Jakarta dilumpuhkan oleh banjir yang melanda berbagai kawasan strategis ibukota, bahkan banjir melanda berbagai kawasan elit, seperti Bundaran HI, Jalan Sudirman, bahkan Istana Negara. Memalukan mungkin, ketika disaat yang bersamaan Presiden Argentina sedang berkunjung ke Jakarta, mungkin kelak sekembalinya mereka dari Indonesia, mereka akan menjawab pertanyaan, “Seperti Apa Jakarta?”kota yang ramah lingkungan, mereka menggunakan kanal-kanal sebagai jalanan utama, rakit, perahu karet, stereofoam dan grobak sebagai alat transportasi. Wow!! Siapakah yang harus disalahkan dari permasalahan banjir tahunan di Jakarta ini? Gurbernur? Pemerintah? Konglomerasi? Pengembang? Masyarakat? Mungkin kesalahan kolektif jawaban yang paling tepat.

Jakarta berawal dari sebuah kota pelabuhan bernama Sunda Kelapa, 1621 Jan Pieter Zoen Coen Memindahkan pusat kekuasaan VOC dari Ambon ke Batavia, satu wilayah kecil di bagian utara Sunda kelapa. Wilayah ini dengan cepat berkembang menjadi suatu kota yang ramai, sampai tahun 1942 nama kota ini dalam rangka de nederlandisasi diubah menjadi Jakarta.  setelah Indonesia merdeka, kota ini dijadikan sebagai ibu kota negara, tidak hanya ibu kota secara politik dan administrasi, Jakarta berkembang menjadi suatu Primate city. kota yang menguasai wilayah wilayah di sekitarnya, dalam kasus Jakarta, kota ini menjadi sebuah Primate City untuk wilayah Indonesia.

Dominasi Jakarta yag terlalu kuat menyebabkan besarnya arus migrasi masuk ke kota ini, tahun 2010 tercatat penduduk jakarta 9.607.787 jiwa, bahkan disiang hari kota ini memiliki jumlah penduduk yang lebih tinggi, mencapai 12.000.000 jiwa. besarnya arus comuter menjadi penyebab utamanya. Dimana kesalahannya? VOC mendesain Batavia disebuah dataran rendah di muara sungai Ciliwung, suatu daerah yang dikelilingi oleh rawa rawa dan hutan hujan, pada masa itu VOC memperkirakan Batavia dengan perkembangan maksimal hanya mampu mendukung jumlah penduduk maksimal sekitar 6.000.000 jiwa. wilayah yang sekarang menjadi jakarta adalah suatu wilayah dengan morfologi sedang, artinya bentuk lahan Jakarta tidak 100% datar, masalahnya hampir 30% dari sekitar 600km persegi jakarta adalah daerah rendah yang cekung, hal ini secara morfologis akan mempersulit outlet air wilayah jakarta. Rawa rawa yang dulu berfungsi sebagai daerah resapan air jauh berkurang, aspal, paving, cone block menutupi sebagian besar tanah jakarta, imbasnya limpasan air semakin bertambah seiring berkurangnya infiltrasi air ke dalam tanah. DAS sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain di jakarta berubah fungsi, tidak ada lagi dataran banjir disekitar sungai. Hanya ada permukiman dari Komplek perumahan mewah sampai permukiman kumuh, berlomba lomba memenuhi dataran banjir Ciliwung.

Sebagai suatu kota besar, Jakarta tidak direncanakan, tidak ada konsep tata kota yang terencana, ibarat telur mata sapi, Jakarta berkembang liar dari jakarta pusat hingga wilayah penyangganya dengan acak, wilayah denga Indek gravitasi tertinggi akan berkembang lebih cepat dibanding daerah dengan indek gravitasi yang lebih rendah, tanpa adanya konsep tata kota sistem drainase tidak berjalan baik. Masyarakat Jakarta, sebagian besar memiliki pendidikan yang tinggi, bukan berarti mereka cukup perduli dengan lingkungan. Sampah masih menjadi masalah utama, sungai, selokan, got menjadi tempat sampah warga Jakarta. Murnikah kesalahan masyarakat? ternyata tidak, sulitnya akses pembuangan sampah di beberapa wilayah, membuat penduduk terpaksa membuang sampah sembarangan, tanah kosonng, punggung jalan tol, sungai, selokan menjadi tempat sampah alternatif.

Tingginya curah hujan? Tidak. tidak ada yang salah dengan tingginya curah hujan tahun ini, pada bulan januari, garis Equator Thermal sedang melintasi wilayah jakarta, hal ini memicu besarnya angka curah hujan, Equator thermal ini melintasi jakarta setiap bulan januari-februari seiring dengan datangnya musim hujan, peristiwa alami yang menyeimbangkan bumi. jadi banjir ini kita tidak bisa menyalahkan hujan, dia akan datang dari tahun ke tahun, tugas kita hanya menyambutnya, bukan melarangnya datang.

Banjir ini memang menyakitkan, tapi rasa sakit ini yang akan mengajarkan pada kita penduduk jakarta, untuk lebih arif terhadap lingkungan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar