|
|
Saya seorang sarjana, berkulit
putih berwajah tampan, dengan rambut ikal, wajar jika saya menjadi
pujaan gadis-gadis di kantor saya. Pasti mereka berpikir saya adalah
calon suami idaman, memang mereka tidak salah. Suatu ketika ada seorang
gadis, saya lupa namanya, kalau tidak salah ingat dia berwajah cantik,
berkulit putih, kalo tidak salah lagi dia dari Manado, satu kantor
dengan saya. Awalnya tidak ada yang istimewa, biasa saja, tapi semakin
lama perhatianya semakin luar biasa, dari potongan rambut, baju, dasi
sepatu sampai kaos kaki saya, benar-benar menjadi hal yang menarik
untuknya. Suatu ketika dengan wajah cantiknya dia datang ke meja saya,
dengan seikat bunga dia mengatakan "jadikan aku pacarmu". Lupa kata-kata
seperti apa yang saya ucapkan waktu itu, yang teringat hanya dia
terisak sambil tersenyum, atau tersenyum sambil terisak, ah atau sama
saja kedua hal itu. Esok harinya dia menggundurkan diri dari kantor
saya. Beberapa bulan kemudian saya mendengar dia membuka sebuah toko
bunga dan menamakan toko bunganya Mas Bawong Florist,
it's my name.
Sempat
saya dipindahkan dari kantor pusat ke luar jawa, wilayah yang masih
sangat asing tentunya untuk saya, karena ini adalah pindah tugas
perdana, banyak hal tercecer, dari kemeja putih, dasi keberuntungan,
sampai amplop kondangan, big mess out there. Beberapa hari
bertugas saya banyak sekali mendapat bantuan dari seorang teman kerja
saya, namanya Ricky sama berasal dari jakarta membuat kami merasa
senasib, cuma nasibnya lebih baik, dia sudah memiliki istri cantik yang
tengah mengandung anak pertama mereka. Semua keperluan saya disiapkan
olehnya, dari tempat kost, kendaraan, sampai jemuran baju. Suatu ketika,
malam sudah cukup larut, kami pulang dari kunjungan lapangan, dengan
mobil 4x4 kami menyusuri jalan setengah aspal, hanya padang ilalang
dikiri kanan jalan, dipayungi temaram sinar rembulan dan sejuknya angin
malam savana tropis, its totally romantic. Ditengah
perjalanan Ricky menghentikan mobil dan mematikan mesinnya, jangankan
saya, serangga-serangga malampun bertanya-tanya apa yang terjadi, dua
orang pria tampan maskulin, mematikan mesin mobil di tengah padang
ilalang!. Diantara desir angin, Ricky berbisik lembut ke telinga saya
"Bawong aku mencintaimu" what?!! saya terlonjak dari jok mobil, saya
sangat marah, tanpa sepatah katapun saya turun dari mobil, saya tidak
perduli jika saya harus pulang naik kuda, kuda lumping sekalipun. What on earth? romantic night with a wrong guy!.
Setelah itu berkali-kali dia meminta maaf, tapi saya mengabaikannya,
kami tak lagi bertegur sapa semenjak itu, dia terlihat sangat menyesal.
Sampai akhirnya saya dipindahkan ke kantor cabang lain, yang saya dengar
terakhir tentangnya adalah setelah anaknya lahir, dia memberinya nama;
Bawong.
Kantor
cabang baru ini, terletak dibatas luar kepulauan Indonesia, pengalaman
saya dipindahkan cukup untuk membuat saya mandiri dalam kepindahan yang
ke dua ini. Pulau ini sangat jauh dari peradaban, ah bukankah kita sudah
merdeka? selalu pertanyaan ini yang terlintas. Saya tinggal disebuah
perkampungan kecil, warganya sebagian besar nelayan, tapi yang saya
suka, mereka umat yang sangat taat, masjid mereka selalu penuh.
Sebenarnya bukan masjid seperti yang saya kenal selama ini, bertiang
kayu beratap rumbia, dengan lantai papan. Saya yakin seekor sapi senewen
pun akan merobohkan bangunan ini dengan mudah. Suatu ketika mereka
berencana memperbaiki masjid, hanya masalahnya dana yang mereka
kumpulkan belum mencukupi. Waktu itu seingat saya, tanpa ragu saya
meyumbangkan seluruh tabungan saya untuk pembangunan masjid itu. Setelah
pembangunan selesai, pak kepala desa mendatangi saya, mengatakan jika
warga desa sepakat menamakan masjid itu dengan nama saya. Saya tersentak
dan langsung menolak, saya bukan sufi atau ustadz, apalagi habib, sama
sekali tak pantas nama saya dijadikan nama masjid. Akhirnya pak lurah
dan warga sepakat menamakan gang kecil di depan masjid itu "Gang Bawong"
Akhirnya
setelah malang melintang di kepulauan timur Indonesia, saya ditugaskan
ke Yogyakarta, kota impian saya selama ini. Dan benar saya memang
berjodoh dengan kota ini, tak perlu lama, saya mengenal seorang gadis
cantik keturunan ningrat. Tanpa melakukan apapun dia sudah membuat
jantung saya berdebar-debar, kedipannya membuat jantung saya berhenti
berdetak. See, betapa mudah cinta membunuh seseorang. Sayang
ternyata apa mau dikata, cinta saya bertepuk sebelah tangan, dia sama
sekali tidak memperdulikan saya. Bunga, puisi, lagu, gitar, rayuan
gombal, semua jurus saya lakukan. Malam minggu pasti saya apel, meski
kadang hanya nongkrong di kios rokok di seberang rumahnya, anda semua
pasti tahu rasanya jatuh cinta, melihat genting rumahnya saja sudah
terasa indah. Sampai kegilaan saya memuncak, ketika saya melamarnya ke
orang tuanya, tentu saja anda tahu jawabanya, ditolak!. Tapi saya tidak
putus asa, satu persatu orang pintar saya datangi, dari profesor,
ustadz, guru sampai dukun, semuanya. Apa yang saya lakukan bukan seperti
orang yang ditolak lamarannya, tapi justru sebaliknya, sang gadis
ningrat pun stres, orang tuanya marah dan meminta saya untuk tidak
pernah datang lagi ke rumahnya, tapi saya masih bergeming, tiap hari
saya datang ke rumahnya, berharap salah satu mantra saya bereaksi. Meski
hanya menatap pintu pagarnya, saya tidak pernah terlambat apel. Sampai
suatu ketika ketika saya sedang berdiri menatap pintu besi di depan
rumahnya, sambil komat kamit membaca matra, tiba-tiba saya mendengar
sang ayah memanggil "Bawong!" saya terlonjak, setengah berlari saya
mendekat, penuh semangat, jantung saya berdegup kencang, Sesaat saya
terpana melihatnya, sang ayah sedang memegang seekor anjing yang baru
saja dipanggilnya.
Dikutip dan ditulis ulang dari ingatan samar sebuah buku masa kecil 'Yang Terhormat Nama Saya" Emha Ainun Najib 1992.
Seorang
rekan pengajar fisika senior mengatakan kepada saya, energi itu
bersifat kekal, semua energi positif yang kita keluarkan akan mengalami
siklus, berputar entah kemana dan kembali ke kita dalam bentuk energi
positif. begitu juga energi negatif yang kita keluarkan akan kembali
dalam bentuk negatif. Kitalah yang memilih energi apa yang kita
keluarkan, sama seperti kita memilih, seperti apa nama kita akan
dikenang.